copas
Postingan Cadas dan Analisa yang begitu cerdas oleh
Nadya Velose pada Akun Facebook
beberapa waktu yang lalu :
Pilkada DKI 2017 mencatat fenomena baru. Bangkitnya partisipasi dan
soliditas pemilih dari etnis Cina. Selama ini, etnis Cina dianggap
sangat apolitis dan cenderung abai, bahkan menghindar dari urusan
politik. Mereka lebih sibuk dan memfokuskan diri pada sektor ekonomi dan
perdagangan. Hasilnya kini sangat terasa. Mereka menguasai semua sektor
perekonomian, bahkan disebut-sebut segelintir taipan menguasai lebih
dari 82 persen perekonomian Indonesia.Buah ketekunan ini sungguh
dahsyat.
Di masa lalu, bukan fenomena mengagetkan bila dalam
Pilkada atau Pilpres, etnis Cina memilih berlibur ke luar kota atau ke
luar negeri. Tak mengherankan bila tingkat partisipasi mereka sangat
rendah. Saat menjelang Pilkada dan Pilpres memang boleh disebut masa
"susah" bagi etnis Cina yang dikenal sebagai pedagang yang ulet dan
saudagar kaya. Banyak yang jauh hari sudah "menghilang" ke luar kota.
Sudah bukan rahasia mereka selalu menjadi sapi perah kalangan parpol
atau kandidat, terutama incumbent. Di Medan, Sumatera Utara bahkan ada
semacam anekdot "Untung Owe gunung. Kalau bukit, Owe sudah rata".
Anekdot itu menggambarkan betapa banyaknya pihak yang meminta "jatah
preman" kepada mereka.
Nah dalam Pilkada DKI, fenomenanya jauh
berbeda. Dari data Exit Poll sejumlah lembaga survei dan juga fakta di
sejumlah TPS menunjukkan, tingkat partisipasi dan soliditas mereka
sungguh luar biasa. Di kantong-kantong pecinan, seperti Pluit, Jelambar,
Kelapa Gading dan sejumlah tempat lainnya di Jakarta, mereka
berbondong-bondong antre di TPS-TPS. Di TPS Mall of Indonesia (MOI)
Kelapa Gading antrean mereka mengular, bahkan sampai pukul 14.00 WIB.
Padahal seharusnya TPS pukul 13.00 Wib sudah tutup.
Mereka juga
sangat militan memperjuangkan hak suara mereka. Dengan modal KTP mereka
bersedia bersitegang, berteriak-teriak bahkan membentak petugas TPS,
untuk dapat memilih. Dalam penghitungan suara, mereka juga melakukan
sapu bersih. Suara mereka bulat penuh mendukung paslon nomor 2
Basuki-Djarot. Di beberapa TPS bahkan suara mereka 100% untuk paslon
nomor 2. Dahsyat. Demikian pula halnya suara pemilih Kristen/Katholik
yang lebih dari 95% lari ke Ahok-Djarot.
Ketua Umum Pemuda
Muhammadiyah,
Dahnil Anzar Simanjuntak, bahkan tak segan mengumbar
kekaguman dan apresiasinya.
Dahnil menilai
Pilkada DKI 2017 sebagai
potensi kebangkitan politik mereka. Dahnil tidak melihat itu sebagai
sebuah bentuk politik aliran karena mereka solid memilih calon yang
seetnis dan seagama.
Fenomena sebaliknya terjadi dengan pemilih
muslim. Banyak kalangan muslim yang mengaku dirinya muslim, bahkan
mengecam ketika ada yang menyerukan agar memilih sesama pemimpin muslim.
Padahal landasannya sangat jelas, yakni kitab suci yang menjadi
landasan keimanan umat Islam. Perlu dicatat, yang diserukan selama ini
adalah memilih pemimpin SESAMA MUSLIM, BUKAN SESAMA ETNIS.
Berbagai
label ditempelkan mulai dari yang ringan berupa politik aliran, sampai
istilah yang sangat keras: dungu, bodoh, terbelakang, radikal,
anti-pluralisme dan yang paling serem adalah anti-kebhinekaan,
anti-NKRI.
Dalam demokrasi modern, memilih berdasarkan etnis,
agama dan kedekatan-kedekatan lain, adalah soal biasa. Di Amerika selama
ratusan tahun bahkan dikenal sebuah istilah White, Anglo Saxon, and
Protestant (WASP). Muncul semacam kesepakatan bahwa yang boleh dan bisa
menjadi Presiden Amerika Serikat haruslah seorang kulit putih, dari
negara Anglo Saxon ( British) dan beragama Protestan. Butuh ratusan
tahun untuk dapat menerima seorang Katholik (Presiden ke- 35 John F
Kennedy) dan kemudian kulit hitam (Presiden ke-44 Barack Obama) untuk
menjadi Presiden. Bagaimana dengan muslim?
Jadi seharusnya sangat
wajar sebagai mayoritas secara populasi, pemilih Islam juga menghendaki
dan memilih pemimpin Islam. Begitu pula sangat wajar bila etnis Cina
maupun non-muslim menghendaki dan menginginkan pemimpin yang berasal
dari kelompok dan sesama mereka. Mereka boleh saja bercita-cita menjadi
gubernur bahkan presiden Indonesia. Tidak perlu ada label rasis,
sektarian bahkan radikal. Namanya usaha, kok disalah-salahkan,
digoblok-goblokkan.
Dalam sosiologi fenomena itu disebut sebagai
In-Group feeling. Yakni sebuah kelompok sosial yang individu-individunya
mengidentifikasikan dirinya dalam satu kelompok.
Masalahnya bagaimana
cara dalam meraih kekuasaan itu dan untuk apa kekuasaan itu sendiri.
Dalam sejarah dunia, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin muslim,
terbukti sangat mengayomi para pemeluk agama lain dalam kehidupan
politik, keagamaan dan sosialnya. Sangat banyak contoh soal ini. Mulai
ketika Nabi Muhammad memimpin pemerintahan di Madinah, dinasti Abbasiyah
di Andalusia, Usmaniah dan tentu saja jangan lupa apa yang terjadi
dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia. Walupun bukan negara Islam,
tapi pemimpin dan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Kehidupan
beragama di Indonesia sering disebut sebagai sebuah contoh bagi dunia.
Cerita sebaliknya justru terjadi di negara-negara dimana Muslim menjadi
minoritas. Contoh paling aktual adalah apa yang terjadi dengan
komunitas Rohingya di Myanmar. Mereka diperlakukan layaknya bukan
manusia, hanya karena alasan etnis dan agama yang berbeda dengan
mayoritas warga dan penguasa.
Jadi bagi anda yang Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, atau etnis Cina, Jawa, Sunda maupun
Papua, silakan anda memilih berdasarkan kesamaan agama atau etnis. Tak
perlu khawatir dicap dungu, bodoh, tak beradab, apalagi bertentangan
dengan konstitusi dan demokrasi.
Hanya orang "dungu dan bodoh"
---maaf saya terpaksa meminjam istilah yang sering dipakai mereka---
apalagi kalau dia juga seorang muslim, yang menilai bahwa memilih sesama
muslim sebagai pemimpin sebagai tindakan dungu, bodoh dan terbelakang.
Berpikir seperti itu dalam bahasa santun dapat di sebut 'akalnya berada
di belakang lidah'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar